selamat datang

اهلا و سهلا

Senin, 07 November 2011

ini untuk adik ummi yang bertanya seputar puasa sunnah arafah.
lihat situs ini

Kamis, 21 April 2011

Teks lagu Rindu Muhammad in Arabic


يَا رَبِّي بِالمُصْطَفَى

يَا رَبِّي بِالمُصْطَفَى

يَا رَبِّي بِالمُصْطَفَى

بَلِغْ مَقَاصِدَنَا

وَ اغْفِرْ لَنَا مَا مَضَيَ وَاسِعَ الْكَرَامِ

بِحُبِّكَ يَا الله

إِلَى مُحَمَّد نَبِيِكَ

إِغْفِرْ دُنُوْبِي

تَقَبَّلْ مِنِّي اَمَلِي

يَا رَسُوْلُ االله سَلَامٌ عَلَيْكَ ,يَا رَفِيَعَ سَانِ وَ دَرَجِ

مَنْ بِحُبِّ نَبِيِهِ

سَوْفَ يَفْرَحُ فِي حَيَاتِهِ

مُحَمَّدِي مُحَمَّدِي إِسْمَعْ دَعُوْنِي

أَسْتَقِيْ أَسْتَقِيْ بِكَ يَا مَحَمَّدِي

أَنْتَ تُعَرِّفُ بِحُبِّ نَبِيِّكَ

أَنْتَ تُعَرِّفُ باِسْتِقَاءِ نَبِيِّكَ

إِذَا تُحِبُّ عَمِيقًا وَ اسْتِقَاءِ إِلَى مُحَمَّد نَبِيِّكَ

عَرِّفْ

أَطِيْع اَمْرَهِ, وَ اتْرُكْ مَا نَهَاهُ

وَاسْتَرِكْ أَخْلَاقَهُ

سَوْفَ تَلْتَقِي رَسُوْلُ الله

سَوْفَ تَجْتَمِعُ رَسُوْلُ الله

مُحَمَّدِي مُحَمَّدِي إِسْمَعْ دَعُوْنِي

أَسْتَقِيْ أَسْتَقِيْ بِكَ يَا مَحَمَّدِي

اَنْتَ تُعَلِّمُ حَيَاةِ لِتَحَبُّبِ

اَتَمَسَّكُ فِي قَلْبِي, وَ عَمِلْتُ مُنْدُ الاَن

يَا رَسُوْلَ االله سَلاَمٌ عَلَيْكَ وَ يَا رَفِيْعَ سَانِ وَ دَرَاجِ

أَنْتَ النَبِيُّ مَا حَمَلَ الحُب

أَنْتَ تُرَبِّيَنَا إِلَى الجَنَّةِ

مُحَمَّدِي مُحَمَّدِي إِسْمَعْ دَعُوْنِي

أَسْتَقِيْ أَسْتَقِيْ بِكَ يَا مَحَمَّدِي

إِذَا تُعَرِّفُ بِحَبِّ نَبِيِّكَ

إِذَا تُعَرِّفُ بِاسْتِقَاءِ نَبِيِّكَ

إِذَا عَمِيْقًا تُعَرِّفُ بِحُبِّ نَبِيِّكَ مُحَمَّد

عَرِّفْ, َرِّفْ, عرّف

مُحَمَّدِيْ مُحَمَّدِيْ إِسْمَعْ دَعُوْنِي

أَسْتَقِيْ أَسْتَقِي بِكَ يَا مُحَمَّدِي

مُحَمَّدِيْ مُحَمَّدِيْ إِسْمَعْ دَعُوْنِي

أَسْتَقِيْ أَسْتَقِي بِكَ يَا مُحَمَّدِي

أَنْتَ تُعَرِّفُ بِحُبِّ نَبِيِّكَ

أَنْتَ تُعَرِّفُ باِسْتِقَاءِ نَبِيِّكَ

إِذَا تُحِبُّ عَمِيقًا وَ اسْتِقَاءِ إِلَى مُحَمَّد نَبِيِّكَ

عَرِّفْ

أَطِيْع اَمْرَهِ, وَ اتْرُكْ مَا نَهَاهُ

وَاسْتَرِكْ أَخْلَاقَهُ

سَوْفَ تَلْتَقِي رَسُوْلُ الله

سَوْفَ تَجْتَمِعُ رَسُوْلُ الله

Senin, 18 April 2011

Jumlah pengguna facebook


facebook merupakan jejaring sosial yang banyak di gunakan di dunia, termasuk di Indonesia , berdasrkan hasil survei pengguna facebook mencapai 35 jiwa yang rata-rata penggunanya adalah anak muda berumur 23 tahun.. baca lebih lanjut di sini"
http://tekno.kompas.com/read/2011/04/07/00274410/Rata-

Rabu, 13 April 2011

Hukum Syara'

HUKUM SYARA’

A. Pengertian Hukum

Secara etimologi, kata “hukum” berarti mencegah atau memutuskan, atau dapat juga diartikan, “Menetapkan sesuatu atas sesuatu, atau memindahkan sesuatu dari padanya”.

Menurut terminologi ushul fiqih dalam kata hukum berarti, ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya yang berhubungan dengan amal perbuatan orang mukallaf, baik berupa perintah, larangan, anjuran untuk meninggalkan.

Pada dasarnya para Ahli usul fiqh menjadikan hukum itu, nama bagi segala titah Allah/ Nabi. baik titah itu mengandung makna perintah, larangan ataupun yang bersifat takhyir yang berarti kebolehan bagi mukallaf untuk memilih dikerjakan dan ditinggalkan maupun titah itu menyatakan suatu sebab, syarat, dan mani’ atau mencegah/menghalangi suatu pekerjaan atau perbuatan yang sah atau rusak. Seperti firman Allah yang artinya: “Janganlah kamu mendekati zina”

B. Pembagian Hukum

1. Hukum Taklifi

Hukum taklifi yakni hukum yang mengandung tuntutan ( suruhan atau larangan) untuk dikerjakan atau di tinggalkan.

Terdapat dua golongan ulama dalam menjelaskan bentuk-bentuk hukum taklifi. Pertama, bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur Ulama Ushul Fiqh terdapat 5 macam yaitu:

a. Ijab

Yaitu tuntutan syar’i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh ditinggalkan. Orang yang meninggalkannya dikenai sanksi. Misalnya, dalam surat An-Nur ayat 56 yang artinya : “Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat....”

b. Nadb

Yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifatmemaksa, melainkan sebagai anjuran sehingga seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya. Orang yang meninggalkannya tidak dikenai hukuman. Contohnya dalam surat Al-Baqarah ayat 282 yang artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...”

Makna kata “hendaklah kamu menuliskannya” dalam ayat itu pada dasarnya mengandung perintah (wujub), tetapi terdapat indikasi yang memalingkan perintah itu kepada nadb yang terdapat dalam kelanjutan dari ayat tersebut yang artinya : “Akan tetapi, apabila sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya....”

c. Ibahah

Yaitu kitab Allah yang bersifat fakultatif mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat secara sama. Akibat dari Khitab Allah ini disebut juga dengan ibahah, dan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah. Misalnya, dalam surat Al-Maidah ayat 2 yang artinya : “Apabila kamu telah selesai melaksanakan ibadah haji, maka bolehlah kamu berburu”.

d. Karahah

Yaitu tututan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa. Dan seseorang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk ditingalkan itu tidak dikenai hukuman. Misalnya, hadist Nabi yang artinya : “Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talaq”.

e. Tahrim

Yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu pekerjaan dengan tuntutan yang memaksa. Akibat dari tuntutan itu disebut hurmah dan perbuatan yang dituntut disebut haram. Misalnya firman Allah dalam surat Al-An’am ayat 151 yang artinya : “Janganlah kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah”.

Kedua, hukum-hukum menurut Fuqoha :

a. Wajib

1) Dilihat dari segi waktu, wajib dibagi atas :

a) Wajib al-muthlaq adalah sesuatu yang di tuntut syari’ untuk dilaksanakan oleh mukallaf tanpa ditentukan waktunya. Misalnya, kewajiban membayar kafarat sebagi hukuman bagi orang yang melanggar sumpahnya. Orang yang bersumpah tanpa mengaitkan dengan waktu, lalu ia melanggar sumpahnya itu, maka kafaratnya boleh dibayar kapan saja.

b) Wajib Al-muaqqad adalah kewajiban yang harus dilaksanakan orang mukallaf pada waktu-waktu tetentu, seperti sholat dan puasa ramadhan. Sholat wajib harus dikerjakan pada waktunya, demikian juga puasa ramadhan.

2) Dilihat dari segi ukuran yang diwajibkan, wajib dibagi atas :

a) Wajib al-mudaddad adalah suatu kewajiban yang ditentukan ukurannya oleh syara’ dengan ukuran tertentu. Misalnya, jumlah harta yang wajib dizakatkan dan jumlah raka’at dalam sholat. Jumlah dan ukuran ini tidak boleh diubah, ditambah, atau dikurangi.

b) Wajib ghoiru al-muhaddad adalah kewajiban yang tidakditentukan syara’ ukuran dan jumlahnya, tetapi diserahkan kepada para ulama’ dan pemimpin umat untuk menentukannya. Misalnya, penentuan hukuman dalam jarimah ta,zir ( tindak pidana diluar hudud dan qishas) yang diserahkan kepada para qhodi atau hakim. Dalam penentuan hukuman ini, para hakim harus berorientasi pada tercapainya tujuan syara’ dalam mensyari’atkan suatu hukuman dan bersifat adil.

3) Dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban, wajib dibagi atas :

a) Wajib al-aini adalah kewajiban yang ditujukan kepada setiap pribadi orang mukallaf. Misalnya, kewajiban melaksanakan sholat bagi setiap orang mukallaf.

b) Wajib al-kifa’i adalah kewajiban yang ditujukan kepada seluruh orang mukallaf, tetapi apabila telah dikerjakan oleh sebagian mereka maka kewajiban itu telah terpenuhi dan orang yang tidak mengerjakanya tidak dituntut untuk melaksanakannya.

4) Dilihat dari segi kandungan perintah, wajib dibagi atas :

a) Wajib al-mu’ayyan adalah kewajiban yang terkait dengan sesuatu yang diperintahkan seperti sholat, puasa, dan harga barang dalam jual beli. Sholat dan puasa pekerjaan yang pada dirinya adalah wajib, dan harga barang yang dibeli itu juga wajib ada dan wajib diserahkan.

b) Wajib al-mukhayyar adalah suatu kewajiban tetentu yang bisa dipilih orang mukallaf. Misalnya firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 89, mengemukakan bahwa kafarat sumpah itu terdiri atas memberi makan faqir miskin, memberi pakean kepada mereka, atau memerdekakan budak.

b. Mandub

Para Ulama’ fiqh membagi mandub menjadi 3 macam :

1) Sunnah al-mu’akkadah (sunnah yang dianjurkan) adalah pekerjaan yang apabila dikerjakan dapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa tetapi yang meninggalkannya mendapat celaan. Diantaranya sholat-sholat sunnah sebelum dan sesudah sholat lima waktu.

2) Sunnah ghoiru mu’akkadah (sunnah biasa) adalah perbuatan yang apabila dikerjakan dapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa tetapi yang meninggalkannya dan tidak mendapat cela’an dari syar’i seperti, sedekah, sholat sunnah dhuha dan puasa setiap hari senin dan kamis.

3) Sunnah za’idah ( sunnah yang bersifat tambahan) yaitu suatu pekerjaan untuk mengikuti apa yang dilakukan rasulullah, sehingga apabila dikerjakan diberi pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak berdosa dan tidak pula dicela. Misalnya pekerjaan berupa sikap dan tindak tanduk rasulullah seperti cara tidur, cara makan dan cara berpakaian.

c. Haram

Haram dibagi menjadi 2 :

1) Haram Li dzatihi yaitu suatu keharaman langsung dan sejak semula ditentukan syar’i tentang keharamanya. Misalnya memakan bangkai, babi, meminum khamr, berjudi, berzina, membunuh, dan memakan harta anak yatim.

2) Haram Li ghairihi yaitu sesuatu yang pada mulanya disyariatkan tetapi dibarengi oleh sesuatu yang bersifat mudhorot oleh manusia, maka keharamannya adalah disebabkan adanya mudhorot tersebut. Misalnya, melaksanakan sholat dengan pakaian hasil ghashap (mengambil barang orang lain tanpa ijin), melakukan transaksi jual beli ketika suara azan sholat jumat telah berkumandang, puasa di hari Raya Idul Fitri.

d. Makruh

Makruh adalah sesuatu yang dituntut oleh syar’i terhadap mukallaf supaya meninggalkan perbuatan dengan suatu tuntutan yang tidak pasti sebagaimana shigatnya itu sendiri menunjukkan akan hal tersebut.

e. Mubah

Mubah ialah suatu yang diberikan oleh syar’i kepada mukallaf untuk memilih antara mengerjakannya dan meninggalkannya. Jadi, syar’i tidak menuntut supaya mengerjakan perbuatan ini dan tidak pula menuntut supaya ia meninggalkannya.

2. Hukum Wadh’i

Hukum wadh’i adalah firman Allah SWT, yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang dari sesuatu yang lain. Di dalam ilmu hukum ia disebut pertimbangan hukum.

1. Contoh firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab yang lain seperti dalam surat Al-Isra ayat 78 yang artinya : “Dirikanlah sholat sesudah matahari tergelincir”. Pada ayat tersebut, tergelincirnya matahari dijadikan sebab wajibnya sholat.

2. Contoh firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai syarat seperti dalam surat An-Nisa ayat 6 yang artinya : “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin atau dewasa”. Ayat tersebut menunjukkan kedewasaan anak yatim menjadi syarat hilangnya perwalian atas dirinya.

3. Contoh khitab Allah yang menjadikan sesuatu sebagai penghalang seperti dalam hadist yang artinya : “pembunuh tidak mendapat waris”. Hadist tersebut menunjukkan bahwa pembunuhan sebagai penghalang untuk mendapatkan warisan.

Macam-macam hukum wadh’i :

a. Sebab

Menurut bahasa adalah sesuatu yang dapat mengakibatkan sesuatu yang lain. Menurut istilah adalah sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum.

“Dirikanlah sholat dari sesudah matahari tergelincir”. (QS. Al-Isra : 78)

Jadi, tergelincirnya matahari dijadikan sebab wajibnya sholat.

b. Syarat

Syarat adalah sesuatu yang diharuskan ada karena adanya hukum bergantung kepadanya. Tidak ada syarat mengakibatkan tidak adanya hukum tetapi dengan adanya syarat tidak mesti adanya hukum.

“Hai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mengerjakan sholat maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan basuhlah kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. (QS. Al-Maidah : 6)

Wudhu merupakan syarat sahnya sholat, tidak ada wudhu maka tidak ada sholat. Akan tetapi dengan adanya wudhu tidak mesti untuk sholat.

c. Mani’

Secara etimologis berarti penghalang. Secara terminologi sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.

Rasulullah bersabda “pembunuh tidak mendapat waris”. Hadist tersebut menunjukkan bahwa pembunuhan sebagai penghalang untuk mendapatkan warisan.

C. Perbedaan Hukum Taklifi dengan Hukum Wadh’i

Ada beberapa perbedaan antara hukum taklifi dengan hukum wadh’i yang dapat disimpulkan dari pembagian hukum di atas. Perbedaan yang dimaksud antara lain adalah :

1. Dalam hukum taklifi terkandung tuntutan untuk melaksanakan, meninggalkan atau memilih berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan dalam hukum wadh’i hal ini tidak ada, melainkan mengandung keterkaitan antara dua persoalan, sehingga salah satu di antara keduanya bisa dijadikan sebab, penghalang dan syarat.

2. Hukum taklifi merupakan tuntutan langsung pada mukallaf untuk dilaksanakan, ditinggalkan atau melakukan pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan hukum wadh’i tidak dimaksudkan agar langsung dilakukan mukallaf.

3. Hukum taklifi harus sesuai dengan kemampuan mukallaf untuk melaksanakan atau meninggalkannya, karena dalam hukum taklifi tidak boleh ada kesulitan dan kesempitan yang tidak mungkin dipikul oleh mukallaf. Sedangkan dalam hukum wadh’i hal ini tidak dipersoalkan karena kesulitan dan kesempitan ada kalanya dapat dipikul mukallaf.

4. Hukum taklifi ditujukan kepada para mukallaf, yaitu orang yang telah baligh dan berakal, sedangkan hukum wadh’i ditujukan kepada manusia mana saja, baik telah mukallaf maupun belum seperti anak kecil dan orang gila.

REFERENSI

Khalaf, Abdul Wahhab. “Ilmu Ushul Fiqh” Semarang: Dina Utama. 1994

LKS untuk SMA / MA. “Materi Fiqh” Surakarta: Putra Nugraha. 2010

Syafe’i, Rachmat. “Ilmu Ushul Fiqh untuk UIN, STAIN, PTAIS” Bandung: Pustaka Setia. 2007

http://saidsanadaya.blogspot.com/2010/01/hukum-taklifi.html

http://www.scribd.com/doc/13148684/ushul-fiqh-bagian-04-agustianto

Senin, 11 April 2011

Mafhum Muwafaqah

MAFHUM MUWAFAQAH

Mafhum berasal dari bahasa arab yaitu فهم – يفهم yang artinya “memahami” , menurut istilah mafhum adalah adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pengucapan (tersirat). Jadi mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman yang terdapat pada ucapan tersebut [1]. Menurut Prof . DR. Amir Syarifudin, Mafhum adalah

المفهوم مادل عليه اللفظ لا في محل النطق و بعبارة أخرى هو دلالة اللفظ على حكم شيء لم يذكر في الكلام أوهو إثبات نقيض حكم المنطوق للمسكوت عنه

Mafhum adalah penunjuk lafal yang tidak di ucapkan atau dengan kata lain penunjuk lafal terhadap suatu hukum yang tidak di sebutkan atau menetapkan pengertian kabalikan dari pengertian lafal yang di ucapkan (bagi sesuatu yang tidak di ucapkan) [2]. Jadi dapat di simpulkan bahwa mafhum sesuatu yang di pahami yang tidak terdapat dalam mantuq bihi ( dalil yang di sebutkan dalam nash)

Contohnya

Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? @è%ur $yJßg©9 Zwöqs% $VJƒÌŸ2 ÇËÌÈ

Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia” ( SQ 17:23)

Dari mantuq (dalil yang disebutkan dalam nash) hukum yang dapat ditarik dari ayat ini adalah haram mengucapkan “ ah” . dari ayat ni dapat juga di gunakan mafhum ( yang di fahami ) haram hukumnya menyakiti orang tua lebih dari kata-kata “ah” terlebih memukulnya.

Sedang mafhum muwafaqah yaitu penunjukan hukum yang tidak disebutkan untuk memperkuat hukum yang disebutkan karena terdapat kesamaan antara keduanya dalam meniadakan dan menetapkan [3]. Menurut pengertian yang lain mafhum muwafaqah ialah mafhum kesesuaikan, yaitu jika hukum yang diperoleh sesuai dengan hukum dari lafaz yang disebutkan ( manthuq ) [4]. Pengertian secara sederhana tentang mafhum muwafaqah yaitu makna yang hukumnya sama dengan mantuq ( dalil yang terdapat dalam teks).

Seperti firman Allah:

¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ tAºuqøBr& 4yJ»tGuŠø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù'tƒ Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y$tR ( šcöqn=óÁuyur #ZŽÏèy ÇÊÉÈ

“ sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk kedalam api yang menyala-nyala ( Neraka) .

Secara dalil yang disebutkan dalam nash ( mantuq ) di atas, ayat ini menjelaskan tentang haram memakan harta anak yatim, alasanya kerena larangannya karena tindakan tersebut dapat merusak atau melenyapkan harta anak yatim. Dari diatas dapat di ketahui bahwasannya mafhum muwafaqahnya adalah larangan setiap perbuatan yang dapat merusak, dan menghabiskan harta anak yatim. Mafhum muwafaqah dibagi kepada dua, yaitu Fahwal Khithab dan Lahnul Khithab.

A. Fahwal Khitab

Fahwal khithab yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua lebih tidak boleh hukumnya.[5]

Contoh :

Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s? ÇËÌÈ

“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka” (Q. S. Al-Isra’ : 23)

Jadi yang lebih utama harus di fahami adalah menyakit orang tua terlebih-lebih sampai memukulnya.

B. Lahnul Khitab

Lahnal Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan,[6] seperti firman Allah SWT :

¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒ tAºuqøBr& 4yJ»tGuŠø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù'tƒ Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y$tR ( šcöqn=óÁuyur #ZŽÏèy ÇÊÉÈ

“ Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk kedalam api yang menyala-nyala ( Neraka ) .

Ayat ini melarang memakan harta anak yatim, maka dengan pemahaman perbandingan sepadan (mafhum muwafaqah), perbuatan lain seperti : membakar, menyia-nyiakan, merusak, menterlantarkan harta anak yatim juga diharamkan.[7]



[1] HIMASAL Jogja “http://himasaljogja.blogspot.com/2009/11/mantuq-dan-mafhum.html” Sabtu 9 April 2011 Pukul 03:47 WIB.

[2] Amir Syarifudin “ Ushul Fiqh” Jakarta Timur, h 176.

[3] Amir Syarifudin “ Ushul Fiqh” Jakarta Timur, h 143.

[6] Ibid , jam 22:00.